RUU KEAMANAN; JANGAN JADI ANCAMAN DEMOKRASI

angan Kembali ke Orde Baru
Rabu, 11 Januari 2012 | 04:41 WIB

Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang diusulkan oleh pemerintah perlu ditelaah secara kritis. Banyak aturan yang rawan disalahgunakan dan bisa membawa ke situasi represif ala Orde Baru. Dewan Perwakilan Rakyat, yang akan membahasnya, mesti memastikan rancangan tersebut berpegang pada prinsip demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Pembentukan Dewan Keamanan Nasional dengan kewenangan luas merupakan poin utama yang mesti dikaji. Bukan sekadar organ pemberi pertimbangan untuk presiden, menurut RUU Keamanan, Dewan ini memiliki wewenang operasional. Dewan yang dipimpin oleh presiden ini antara lain bertugas “mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional”. Jangkauannya bahkan diperpanjang dengan pembentukan dewan serupa di tingkat daerah.

Dewan itu mengingatkan kita pada Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional alias Bakorstanas. Dibentuk pada 1988, badan ad hoc bentukan Orde Baru itu juga dipimpin oleh presiden. Badan Koordinasi memiliki wewenang yang luar biasa, misalnya menahan orang tanpa proses pengadilan, memberangus kebebasan berekspresi, dan serangkaian pelanggaran hak asasi lainnya. Badan ini akhirnya dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000.

Kekhawatiran seperti itu bukan tanpa alasan. Sejumlah aturan dan RUU tersebut juga memperlihatkan kecenderungan penyelenggara negara untuk berlaku represif. Dalam satu pasal, misalnya, disebutkan “unsur keamanan nasional memiliki kuasa khusus untuk menyadap, memeriksa, menangkap, dan melakukan tindakan paksa lainnya”. Ada pula tafsir berlebihan soal ancaman keamanan nasional, yang antara lain berupa “pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, ideologi, diskonsepsi perumusan legislasi dan regulasi, kebodohan, juga ketidakadilan”.

Bayangkan bila aturan itu benar-benar diterapkan. Ambil contoh, ada pemogokan massal buruh di Jakarta. Dewan Keamanan Nasional bisa menggolongkan demonstrasi itu sebagai “ancaman keamanan nasional”, lalu menggerakkan aparat keamanan untuk menangkapi aktivisnya. Dewan juga bisa memerintahkan penyadapan bagi penggerak mogok massal. Padahal, kita tahu, mogok merupakan salah satu hak asasi yang dilindungi Konstitusi.

Belum terlambat untuk memperbaiki aturan-aturan yang berbahaya tersebut. Dewan Keamanan Nasional seyogianya tidak memiliki kewenangan operasional. Bisa saja Dewan ini diberi tugas, katakanlah, menentukan masalah-masalah yang dianggap sebagai gangguan keamanan nasional, dan selanjutnya memberikan alternatif kebijakan kepada presiden. Di Amerika Serikat, National Security Council pun hanya menjadi badan pemberi pertimbangan bagi Gedung Putih. Definisi soal ancaman nasional juga perlu diperjelas agar tidak menjadi pasal karet yang bisa digunakan sesuai dengan kepentingan penguasa.
Harus diakui, pengaturan keamanan nasional umum dijumpai dalam praktek ketatanegaraan modern. Keamanan nasional dipandang sebagai aspek penting karena berhubungan dengan stabilitas politik dan sosial suatu negara. Hanya, pengaturan sektor ini harus tetap selaras dengan prinsip demokrasi. Kita tentu tidak ingin kembali ke “zaman kegelapan” Orde Baru.

sumber: http://www.tempo.co/read/opiniKT/2012/01/12/1740/Jangan-Kembali-ke-Orde-Baru

Posted on Februari 2, 2012, in Uncategorized. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar